Abstract.
Excessive sedimentation in Inner Ambon Bay (IAB) is alleged to cause the degradation of seagrass vegetation in the area. To get a clearer picture about the matter, we conducted a field study in October 2010 – January 2011 to describe the distribution and density of seagrass at several locations in IAB with different conditions of sedimentation levels. Data were collected using transects perpendicular to the coastline along the seagrass vegetation. The results showed that there were six species of seagrass which were spreaded unevenly. At the locations with high sedimentation, we found the formation of monospecies seagrass vegetation. Conversely, at the locations with low sedimentation, we found the formation of multispecies seagrass vegetation. The distribution and abundance of each species was related to the differences of seagrasses ability to grow in a certain environment and the competitiveness among them.
Keywords: sedimentation, distribution, seagrass, Inner Ambon Bay
I. PENDAHULUAN
Padang lamun merupakan salah satu ekosistem pesisir selain muara (estuari), hutan bakau (mangrove) dan terumbu karang (Tangke, 2010). Secara sepintas padang lamun dianggap kurang berarti, namun sesungguhnya lamun mempunyai fungsi ekologis yang sangat penting (Azkab, 2006), salah satunya sebagai habitat berbagai biota laut (Uzunova, 2010; Whitlow & Grobowski, 2012) sehingga menyokong keragaman hayati yang tinggi (Short et al., 2007). Salah satu lokasi padang lamun yang biotanya (terutama ikan dan bentos) sering dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar adalah di Teluk Ambon (bagian) Dalam (selanjutnya disingkat TAD). Kelestarian ekosistem pesisir Teluk Ambon mendapatkan ancaman dari perusakan fisik seperti pengerukan pasir pantai dan sedimentasi akibat lemahnya manajemen lahan atas dan pencemaran (Debby et al., 2009). Kondisi teluk yang tertutup, profil pantai yang landai, arus dan pertukaran masa air yang relatif lemah, menyebabkan mudah terjadinya proses sedimentasi di TAD (Cap- Sebaran Lamun di Teluk Ambon Dalam . . . 100 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt81 penberg, 2011). Hal ini diperparah juga dengan terbatasnya lahan datar di sekitar Teluk Ambon, yang telah mendorong berkembangnya kawasan pemukiman di daerahdaerah perbukitan sehingga meningkatkan laju sedimentasi di perairan Teluk Ambon (Setyawan dan Supriyadi, 1996). Sedimentasi yang berlebihan akan menyebabkan gangguan bagi kehidupan tumbuhan lamun seperti menurunnya laju fotosintesis akibat berkurangnya intensitas cahaya matahari, menurunnya penyerapan nutrisi oleh akar karena penebalan sedimen, terkuburnya lamun yang berukuran kecil, dan berkurangnya daerah yang tergenang air sehingga mempersempit distribusi lamun (Kuriandewa, 1998). Degradasi lamun di Teluk Ambon telah terpantau di salah satu lokasi yaitu Galala yang dulunya terdapat tiga jenis lamun sekarang tinggal jenis Enhalus acoroides saja, selain itu semua lokasi padang lamun di TAD statusnya rusak bila mengacu pada Kepmen LH No.200 tahun 2004 (Tuhumury, 2008). Bila tekanan terhadap padang lamun terus berlanjut, maka keberlangsungan biota-biota lain pun akan terancam akibat degradasi habitat. Di samping itu, ekosistem pesisir lainnya yaitu hutan mangrove sudah semakin mengkhawatirkan dan arealnya pun semakin berkurang (Pramudji dan Pulumahuni, 1998; Suyadi, 2009), begitu juga dengan terumbu karang (Hukom, 1999). Saat ini padang lamun yang ada di TAD terdapat di beberapa lokasi dengan komposisi jenis berkisar dari satu hingga lima jenis (Tuhumury, 2008; Irawan, 2011). Status padang lamun di TAD dalam kondisi rusak kemungkinan berkaitan dengan sedimentasi yang terjadi (Tuhumury, 2008). Maka sebaran dan kerapatan jenis lamun di tiap lokasi kemungkinan berkaitan juga dengan kondisi sedimentasinya, karena sedimentasi yang berlebihan bisa mengakibatkan hilangnya lamun (Do et al., 2012) atau bila arus lebih besar daripada pergerakan sedimennya bisa terjadi erosi pada pada area padang lamun tersebut (Luhar et al., 2008). Berdasarkan pengolahan citra satelit, terjadi peningkatan luas area tersedimentasi di Teluk Ambon dari 102,56 hektar di tahun 1994 menjadi 168,13 hektar di tahun 2007 (Gambar 1). Akan tetapi, peningkatan tersebut tidak terjadi secara merata sehingga ada lokasi yang mengalami penambahan, pengurangan, maupun relatif tidak berubah. Lokasi Waiheru, Lateri dan Halong mengalami penambahan, lokasi Passo mengalami pengurangan dan lokasi Tanjung Tiram area tersedimentasinya relatif tidak berubah. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai kaitan antara perbedaan perubahan sedimentasi dengan sebaran lamun maka suatu penelitian perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan sebaran dan kerapatan jenis lamun pada beberapa lokasi di TAD dengan kondisi perubahan sedimentasi yang berbeda